Pepok dan Sugeng adalah pelatih seni tari. Suatu ketika Sugeng merasa bosan dengan profesi yang dijalaninya sampai datanglah Bimo seorang anak penari breakdance (breaker) yang kebetulan teman satu kampung dengan mereka. Ia mengajak Sugeng untuk bergabung dalam komunitasbreak dance. Disaat Pepok diminta menunjukkan kebolehannya menari break dance, Pepok malah dengan percaya diri menarikan tarian Klono Topeng. Ternyata hal tersebut membuat teman-teman Sugeng tertarik sehingga pada akhirnya beberapa anak breaker ikut latihan menari Klono Topeng. Demikianlah salah satu cerita film pendek “Klono Topeng” karya sutradara Dicko Joneda pemenang favorit ajang Psychocinema Festival yang digelar oleh himpunan mahasiswa psikologi Unika Atmajaya.
Kritik terhadap budaya seni tradisi yang tersingkir oleh modernisasi (baca: budaya barat) namun tetap kukuh dipertahankan nampaknya menjadi salah satu faktor film karya Dicko peserta asal Yogyakarta ini menjadi pemenang. Acara yang sudah memasuki tahun ke-3 ini menetapkan tiga pemenang untuk kategori film pendek yang diikutsertakan dalam festival ini. Film lainnya yang menjadi pemenang adalah “Pacarku Lina” (sutradara Louis Oktavianus Sutanto) dan “Papa Hau” (sutradara Yandy Laurens) yang dibintangi oleh pemeran “Ca Bau Kan” Ferry Salim dan Wulan Guritno. Adapun kedua film tersebut berasal dari Jakarta.
“Kami sengaja tidak menetapkan tiga pemenang dalam festival ini. Jadi tidak ada pemenang pertama sampai ketiga. Yang ada dari sepuluh film yang diikutsertakan adalah tiga film pemenang favorit,” ucap budayawan Remy Sylado, salah seorang juri Psychocinema Festival.
Remy yang juga pernah menjadi juri Festival Film Indonesia ini tidak sendirian. Dalam ajang Psychocinema Festival ini ia ditemani sineas Nan T. Achnas dan Eric Santosa, dosen psikologi Atmajaya. Selain menetapkan tiga pememang yang masing-masing berhak menggondol hadiah piala dan uang senilai Rp.1.150.000 ini, para juri juga menetapkan aktor dan aktris terbaik. Mereka adalah Andi dalam film “Klono Topeng” dan Lina dari film “Pacarku Lina”. Sementara untuk kategori sutradara terbaik diraih oleh sineas asal Yogyakarta, Ismail Basbeth (film “Hide and Sleep”).
“Yang menarik dalam ketiga film yang menjadi pemenang tersebut adalah kekuatan masing-masing sineas mengeksplor pelbagai kritik sosial dalam film-filmnya,” ujar Eric Santosa, salah satu juri.
Sebutlah misalnya “Pacarku Lina” yang mengisahkan hubungan kisah kasih asmara Lina seorang gadis keturunan China dengan pemuda Jawa. Masing-masing kedua orangtua mereka melarang hubungan tersebut lantaran perbedaan etnis.
Sedangkan film “Papa Hau” yang kebetulan diperankan aktor –akltris kategori “bintang” yaitu Ferry Salim dan Wulan Guritno ini mengisahkan seorang ayah (pria keturunan Tionghoa) yang berkulit putih hidup berdua dengan “anaknya” yang masih kecil dan berkulit gelap. Pada suatu hari secara tidak sengaja sang anak yang merupakan buah dari hasil permerkosaan istrinya pada kerusuhan Mei 1998 itu, menyadari bahwa ia berbeda dengan ayahnya. Ia lalu mengungkapkan emosinya pada ayahnya karena tidak menerima kenyataan tersebut. Ketabahan dan ketulusan kasih sang ayah menjadi jawaban atas perbedaan mereka.
Selain ketiga film pemenang yang diputar dalam acara puncak Psychocinema Festival, diputar film lain berjudul “Sunatan Massal” karya sutradara asal Yogyakarta, Luhki Herwanayogi dan tentu saja “Hide and Sleep” yang meraih penghargaan sutradara terbaik. “Sunatan Massal” mengisahkan seorang bocah dari keluarga beragama Katolik yang mengikuti hajatan “sunatan massal” yang digelar di dekat sekolahnya.
Sedangkan film “Hide and Sleep” mengisahkan Ramlan, seorang pemuda di sebuah kamar kos kebingungan ketika bangun dari tidurnya mendapati beberapa wanita berada dalam kamarnya. Dalam ingatannya dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi semalam karena semua terlihat aneh dan janggal. Meskipun bukan salah satu pemenang, film yang kaya dengan gambar bernuasa metafora ini menyabet penghargaan sutradara terbaik menyisihkan sepuluh film lainnya yang diikutsertakan dalam ajang yang digelar tiap tahun oleh mahasiswa psikologi Unika Atmajaya ini.
Selain pemutaran film yang menjadi pemenang acara puncak yang digelar di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) ini juga diramaikan dengan pemutaran film dan diskusi “The Photograph” oleh Niniek. L. Karim (8/11) dan kemudian ditutup dengan penampilan grup musik Efek Rumah kaca yang membawakan lagu-lagu dari album pertama hingga album keduanya yang bakal dirilis bulan September 2009.
No comments:
Post a Comment